Kamis, 01 Januari 2009

JIHAD DAN KEPAHLAWANAN

JIHAD DAN KEPAHLAWANAN

Oleh: Alvi Alvavi Maknunah*

Bulan November akan selalu melekat di lubuk hati rakyat Indonesia. November, di Indonesia identik dengan kepahlawanan, sejarah epik kemer-dekaan. Meski tidak sesakral peringatan 17-an, namun kita tidak bisa memandang sebelah mata. Sebagai rakyat Indonesia, rasanya patut untuk kita mengenang sejenak sejarah setengah abad silam, tepatnya pada 10 November 1945, Agresi Militer I di Surabaya.

Pada hari itu terjadi peristiwa yang maha penting bagi kelangsungan negara kita, di mana para pahlawan menyam-bung nyawa demi menyelamatkan bendera yang tidak hanya sekadar berarti merah putih namun juga arti bernegara, arti eksistensi kita dan arti kemerdekaan kita.

Di bawah ultimatum penjajah dengan pembakaran dan pemusnahan, tidak gentar para pahlawan terus melawan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan. Meski banyak yang gugur, namun pahlawan kita berhasil memenangkan agresi tersebut.

Lantas, seberapa pentingkah arti kepahlawanan menurut Islam? Karena banyak pendahulu kita yang rela berjuang demi kemerdekaan. Atau jangan-jangan tak berarti apapun selain hanya mempertahankan rasa nasionalisme saja?

Mengutip hadis Rasul SAW:

عن أبي موسى قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الرجل يقاتل شجاعة ويقاتل حمية ويقاتل رياء أي ذلك في سبيل الله ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله))

"Dari Abu Musa al-Asy'ari RA. Rasulullah SAW ditanya tentang seseorang yang berperang dengan keberanian, ia berperang dengan kesombongan, serta berperang dengan riya', manakah di antara mereka yang termasuk jihad fi sabilillah?" Rasul menjawab, "Siapa yang yang berperang demi tegaknya kalimatullah maka ia berjihad fi sabilillah" (HR. Bukhari Muslim).

Jika kita baca lagi epik sejarah kemerdekaan, kita akan tahu bahwa ketika itu organisasi persiapan dan penggalang kemerdekaan justru diawali oleh para tokoh ulama Indonesia seperti PERSIS yang diprakarsai oleh HOS. Cokroaminoto, dari Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan, dari NU oleh KH. Wahab Hasbullah dan Hadrotus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Bahkan, waktu itu sempat pula Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari memfatwakan jihad melawan penjajah adalah fardlu 'ain (kewajiban personal).

Dari ulasan tersebut bisa disimpulkan bahwa kala itu para pejuang kemerdekaan tidak hanya sekedar mempertahankan kemerdekaan, namun juga berusaha menjaga Islam tetap tegak di bumi pertiwi, Indonesia kita tercinta. Sebab, jika Indonesia kalah alias dikuasai penjajah yang kafir, niscaya Islam tidak mungkin bisa berjaya di tanah air kita ini.

Melihat dari konterks jihad di atas, sangat wajar jika kemudian Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari menyerukan perang itu wajib pada waktu itu, sebab memang kita diserang dan tanah air dalam keadaan perang yang genting. Dentuman senjata penjajah terdengar di mana-mana, tidak pantas rasanya jika kita hanya berdiam diri kemudian menyerah kalah. Dalam al-Quran, Allah berfirman:

أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا، وإن الله على نصرهم لقدير

"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (QS. al-Hajj : 24)

Selain itu, dalam hadis-Nya, Nabi Muhammad SAW juga pernah mengingatkan:

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل ؟ فقال ( إيمان بالله ورسوله ) . قيل ثم ماذا ؟ قال ( الجهاد في سبيل الله ) . قيل ثم ماذا ؟ قال ( حج مبرور. رواه البخاري)

"Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang amal apa yang paling utama? Seraya Nabi menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” “Kemudian, apa lagi ya Rasul?” Nabi berkata, "Jihad di jalan Allah (fi sabilillah).” “Setelah itu, apa lagi ya Rasul?” Nabi menjawab, "Haji mabrur." (HR. Bukhari).

Persoalan yang terjadi kemudian, masih relevankah jihad di masa sekarang? Atau mungkin ada bentuk jihad selain harus berperang? Rasanya terlalu terburu-buru jika menyimpulkan jihad harus dengan perang dan mengangkat senjata. Sebab Nabi SAW pun pernah bersabda:

حدثنا القاسم بن دينار الكوفي حدثنا عبد الرحمن بن مصعب أبو يزيد حدثنا إسرائيل عن محمد بن جحادة عن عطية عن أبي سعيد الخدري : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر. رواه الترميذي

"Dari Abi Sa'id al-Khudri, Nabi Saw berkata, "Termasuk jihad yang paling agung adalah menegakkan keadilan di hadapan penguasa yang dzolim (berlaku tidak adil, aniaya)." (HR. Al-Tirmidzi)

Dalam Sunan al-Nasa'i, Imam al-Sindi menjelasakan maksud hadis tersebut, "Menegakkan kebenaran di hadapan penguasa lalim termasuk jihad agung, sebab sedikit sekali orang yang mau melakukan hal tersebut kalaupun ada jarang sekali yang selamat.

Pada kesempatan lain, Nabi pernah ditanya tentang amal apa yang paling afdlal? Beliau menjawab, bahwa jihad yang paling afdlal adalah memerangi orang musyrik, haji mabrur dan bir al-walidain (diriwayatkan dalam Shahih Bukhori). Hal ini bukan dikarenakan semua pekerjaan afdlal dan semua harus dilakukan sesuai petunjuk Nabi. Jika Nabi menjawab satu persoalan dengan jawaban yang berbeda, hal itu lebih dikarenakan Nabi melihat situasi dan kondisi sang penanya. Jika sang penanya tidak kunjung menunaikan ibadah haji padahal ia mampu, maka Nabi menjawab haji adalah yang paling afdlol. Begitu seterusnya.

Menilik ulasan di atas, rasanya tidak mungkin jika kita harus berjihad dengan memanggul senjata. Sementara negara kita tidak lagi dalam keadaan perang fisik namun perang pemikiran, ekonomi bahkan kebudayan. Untuk sementara ini dunia masih dikuasai oleh pemuja modal, kapitalis borjuis. Sementara Indonesia meski punya Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah namun modalnya kurang, pantas kalau selama ini kita selalu terjajah. Justru inilah kesempatan kita. Jangan sampai ekonomi kita terkuras, dan kebudayaan kita pun ikut terhempas dengan berbagai trend yang diciptakan non-muslim. Allah berfirman:

لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم، إن الله يحب المقسطين

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu, karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah : )

Kiranya sudah bukan saatnya lagi kita memanggul senjata untuk menjadi pahlawan, bukan saatnya lagi kita berjihad di medan perang, namun jihad kita, kesempatan kita adalah jihad fikri, jihad dengan taktik ilmu pengetahuan. Memerangi hedonisme, menekan kapitalisme dan memberantas sekulerisme. Wallahu a'lam.

*Alvi Alvavi Maknunah

Mahasantri semester V Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, mahasiswi semester V Jurusan Tafsir-Hadis Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ), asal Kediri Jatim

1 komentar: